KEBUDAYAAN SUKU MANDAILING
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dalam tulisan MANDAILING DALAM LINTASAN SEJARAH oleh Drs. Pengaduan Lubis,
yang dikabarkan dalam Mandailing.org, dinyatakan Suku bangsa atau kelompok
etnis Mandailing. Suku bangsa atau kelompok etnis Mandailing memang mempuyai
aksara sendiri yang dinamakan Surat Tulak-Tulak. Tetapi ternyata orang-orang
Mandailing pada zaman dahulu tidak menggunakan aksara tersebut untuk menuliskan
sejarah. Pada umumnya yang dituliskan adalah mengenai ilmu pengobatan
tradisional, astronomi tradisional, ilmu ghaib, andung-andung dan tarombo atau
silsilah keturunan keluarga-keluarga tertentu. Setelah sekolah berkembang di
Mandailing, Surat Tulak-Tulak mulai dipergunakan oleh guru-guru untuk
menuliskan cerita-cerita rakyat Mandailing sebagai bacaan murid-murid sekolah.
Beberapa legenda yang mengandungi unsur sejarah dan berkaitan dengan
asal-usul marga orang Mandailing masih hidup di tengah masyarakat Mandailing.
Seperti legenda Namora Pande Bosi dan legenda Si Baroar yang dtulis oleh Willem
Iskandar pada abad ke-18 M. Tetapi legenda yang demikian itu tidak memberi
keterangan yang cukup berarti mengenai sejarah Mandailing. Dalam beberapa
catatan sejarah seperti sejarah Perang Paderi yang disusun oleh M. Radjab,
disebut-sebut mengenai Mandailing dan keterlibatan orang Mandailing dalam
Perang Paderi. Catatan sejarah ini hanya berhubungan dengan masyarakat
Mandailing pada abad ke-18 dan awal masuknya orang Belanda ke Mandailing.
Bagaimana sejarah atau keadaan masyarakat Mandailing pada abad-abad sebelumnya
tidak terdapat tulisan yang mencatatnya.
Mpu Prapanca, seorang pujangga Kerajaan Majapahit menulis satu kitab yang
berjudul Negarakertagama sekitar tahun 1365 M. kitab tersebut ditulisnya dalam
bentuk syair yang berisi keterangan mengenai sejarah Kerajaan Majapahit.
Menurut Prof. Slamet Mulyana (1979:9), Kitab Negarakertagama adalah sebuah
karya paduan sejarah dan sastra yang bermutu tinggi dari zaman Majapahit.
Berabad-abad setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, keberadaan dimana kitab ini
tidak diketahui. Baru pada tahun 1894, satu Kitab Negarakertagama ditemukan di
Puri Cakranegara di Pulau Lombok. Kemudian pada Juli 1979 ditemukan lagi satu
Kitab Negarakertagama di Amlapura, Lombok.
Dalam Pupuh XIII Kitab Negarakertagama, nama Mandailing bersama nama banyak
negeri di Sumatera dituliskan oleh Mpu Prapanca sebagai negara bawahan Kerajaan
Majapahit. Tidak ada keterangan lain mengenai Mandailing, kecuali sebagai salah
satu negara bawahan Kerajaan Majapahit. Namun demikian, dengan dituliskan nama
Mandailing terdapatlah bukti sejarah yang otentik bahwa pada abad ke-14 M telah
diakui keberadaannya sebagai salah satu negara bawahan Kerajaan Majapahit.
Pengertian negara bawahan dalam hal ini tidak jelas artinya, karena tidak ada
keterangan berikutnya.
Jadi dapatlah dikatakan bahwa Negeri Mandailing sudah ada sebelum abad
ke-14 M. Karena sebelum keberadaannya dicatat tentunya Mandailing sudah
terlebih dahulu ada. Kapan Negeri Mandailing mulai berdiri tidak diketahui
secara persis. Tetapi karena nama Mandailing dalam kitab ini disebut-sebut
bersama nama banyak negeri di Sumatera termasuk Pane dan Padang Lawas,
kemungkinan sekali negeri Mandailing sudah mulai ada pada abad ke-5 M atau
sebelumya. Karena Kerajaan Pane sudah disebut-sebut dalam catatan Cina pada
abad ke-6 M. Dugaan yang demikian ini dapat dihubungkan dengan bukti sejarah
berupa reruntuhan candi yang terdapat di Simangambat dekat Siabu. Candi
tersebut adalah Candi Siwa yang dibangun sekitar abad ke-8 M.
Apakah pada abad ke-14 M, Mandailing merupakan satu kerajaan tidak
diketahui. Karena dalam Kitab Negarakertagama, Mandailing tidak disebut-sebut
sebagai kerajaan tetapi sebagai negara bawahan Kerajaan Majapahit. Tetapi
dengan disebutkan negeri Mandailing sebagai negara, ada kemungkinan pada masa itu
Mandailing merupakan satu kerajaan. Keterangan mengenai keadaaan Mandailing
sebelum abad ke-14 M, tidak ada sama sekali kecuali keberadaan Candi Siwa di
Simangambat. Namun demikian, berdasarkan berbagai peninggalan dari zaman pra
sejarah dan peninggalan dari zaman Hindu/Buddha yang terdapat di Mandailing
kita dapat mengemukakan keterangan yang bersifat hipotesis.
BAB II
PEMBAHASAN
ISI
Suku Mandailing adalah suku bangsa yang mendiami Kabupaten Mandailing
Natal, Kabupaten Padang Lawas, Kabupaten Padang Lawas Utara, Kabupaten Tapanuli
Selatan, Kabupaten Labuhanbatu, Kabupaten Labuhanbatu Utara, Kabupaten
Labuhanbatu Selatan, Kabupaten Asahan, dan Kabupaten Batubara di Provinsi
Sumatera Utara beserta Kabupaten Pasaman dan Kabupaten Pasaman Barat di Provinsi
Sumatera Barat, dan Kabupaten Rokan Hulu di Provinsi Riau. Mandailing merupakan
kelompok masyarakat yang berbeda dengan suku, Hal ini terlihat dari perbedaan
sistem sosial, asal usul, dan kepercayaan.
Pada masyarakat Minangkabau, Mandailing atau Mandahiliang menjadi salah
satu nama suku yang ada pada masyarakat tersebut.
- TATA CARA ACARA SUKU MANDAILING
Upacara Adat Pernikahan Mandailing
Sebelum acara adat dimulai, biasanya diperlukan perlengkapan upacara adat,
seperti sirih (napuran/burangir) terdiri dari sirih, sentang (gambir),
tembakau, soda, pinang, yang semuanya dimasukkan ke dalam sebuah tepak. Lalu,
sebagai simbol kebesaran (paragat) disiapkan payung rarangan, pedang dan
tombak, bendera adat (tonggol) dan langit-langit dengan tabir.
Adat pada suku Mandailing melibatkan banyak orang dari dalian na tolu,
seperti mora, kahanggi dan anak boru. Prosesi upacara pernikahan dimulai dari
musyawarah adat yang disebut makkobar/makkatai, yaitu berbicara dalam tutur
sapa yang sangat khusus dan unik. Setiap anggota berbalas tutur, seperti
berbalas pantun secara bergiliran. Orang pertama yang membuka pembicaraan
adalah juru bicara yang punya hajat (suhut), dilanjutkan dengan menantu yang
punya hajat (anak boru suhut), ipar dari anak boru (pisang raut), peserta
musyawarah yang turut hadir (paralok-alok), raja adat di kampung tersebut
(hatobangan), raja adat dari kambpung sebelah (raja torbing balok) dan raja
diraja adat/pimpinan sidang (raja panusunan bulang).
Setelah itu, dilaksanakan acara tradisi yang dikenal dengan nama mangupa
atau mangupa tondi dohot badan. Acara ini dilaksanakan sejak agama Islam masuk
dan dianut oleh etnis Mandailing dengan mengacu kepada ajaran Islam dan adat.
Biasanya ada kata-kata nasihat yang disampaikan saat acara ini. Tujuannya untuk
memulihkan dan atau menguatkan semangat serta badan. Pangupa atau bahan untuk
mangupa, berupa hidangan yang diletakkan ke dalam tampah besar dan diisi dengan
nasi, telur dan ayam kampung dan garam.
Masing-masing hidangan memiliki makna secara simbolik. Contohnya, telur
bulat yang terdiri dari kuning dan putih telur mencerminkan kebulatan
(keutuhan) badan (tondi). Pangupa tersebut harus dimakan oleh pengantin sebagai
tanda bahwa dalam menjalin rumah tangga nantinya akan ada tantangan berupa manis,
pahit, asam dan asin kehidupan. Untuk itu, pengantin harus siap dan dapat
menjalani dengan baik hubungan tersebut.
-PENINGGALAN
1. Makam
di daerah Panyabungan banyak terdapat kuburan-kuburan lama dari jaman
pra-Islam.
Sebahagian dari kuburan-kuburan tersebut telah hancur akibat ulah
penggali-penggali liar yang membongkar kuburan-kuburan ini guna mengambil harta
benda yang terdapat di kuburan ini, antara lain piring-piring keramik besar
asal Cina serta perhiasan-perhiasan dari tembaga.
2. Desa Huta Siantar, hanya beberapa kilometer jaraknya dari Panyabungan.
Di desa Huta Siantar 2ini terdapat berbagai kuburan-kuburan lama yang dibuat
dari batu bata dan kemungkinan berasal dari awal jaman masuknya agama Islam.
Sebuah batu bulat besar dengan diameter 84 cm, Setengahnya tertanam dan
penuh dengan lumut. Batu tersebut sesudah dibersihkan dari lumutnya. tampak
sebuah ornamen geometris berbentuk bintang sepuluh. Dengan bantuan penduduk
setempat kami membalikkan batu ini dan sesudah bagian yang sebelumnya tertanam
dibersihkan, tampak selain ornamen-ornamen berbunga juga sebuah inskripsi
beraksara Arab.
Sesudah dibersihkan lagi, sebagian dari inskripsi dapat dibaca, antara lain
"berpulang ke ....(tak terbaca) Sutan .... nabi kita Muhammad...."
dan sebuah angka yang
tidak jelas lagi, kemungkinan 265. Rupanya batu ini adalah sebuah batu nisan
dan kemungkinan angka ini merupakan angka tahun wafatnya Sutan tersebut.
3. Pemakaman Raja Huta Godang Mandeling Julu
3. Pemakaman Raja Huta Godang Mandeling Julu
setiap Huta mempunyai sebidang tanah perkuburan. Kebiasaannya letaknya di
luar Huta, tampi masih mudah didatangi. Selain daripada tanah perkuburan, di
sekitar Huta biasanya terdapat pula tanah perkuburan makam-makam leluhur yang
mula-mula membuka Huta tertentu. Pada masa lampau, walaupun tidak dengan
cara-cara yang khusus dan istimewa, tempat makam leluhur dihormati oleh
penduduk Huta. Meskipun tidak merupakan suatu tradisi yang mengikut, tetapi
kalau Raja atau anggota keluarga Raja meninggal dunia, mereka dikebumikan di
pemakaman leluhur.
BAB III
PENUTUPAN
KESIMPULAN
Daerah Sumatra Utara memiliki kekayaan budaya yang beraneka ragam
dalam bentuk adat istiadat, seni tradisional, dan bahasa daerah. Masyarakatnya
terdiri atas beberapa suku, seperti Melayu, Nias, Batak Toba, Pakpak, Karo,
Simalungun, Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan (meliputi Sipirok, Angkola,
Padang Bolak, dan Mandailing); serta penduduk pendatang seperti Minang, Jawa
dan Aceh yang membawa budaya serta adat-istiadatnya sendiri-sendiri. Daerah ini
memiliki potensi yang cukup baik dalam sektor pariwisata, baik wisata alam,
budaya, maupun sejarah
Semua etnis memiliki nilai budaya masing-masing, mulai dari adat istiadat,
tari daerah, jenis makanan, budaya dan pakaian adat juga memiliki bahasa daerah
masing-masing. Keragaman budaya ini sangat mendukung dalam pasar pariwisata di
Sumater Utara. Walaupun begitu banyak etnis budaya di Sumatera Utara tidak
membuat perbedaan antar etnis dalam bermasyarakat karena tiap etnis dapat berbaur
satu sama lain dengan memupuk kebersamaan yang baik. kalau di lihat dari
berbagai daerah bahwa hanya Sumatera Utara yang memiliki penduduk dengan
berbagai etnis yang berbeda dan ini tentunya sangat memiliki nilai positif
terhadap daerah sumatera utara.
SARAN
-Diharapkan kepada masyarakat mandailing agar dapat mempertahankan alat
musik gordang sambilan khususnya generasi muda.
-diharapkan pemerintah agar lebih peduli dalam pelestarian alat musik
tradisional gordang sambilan agar tidak punah seiring perkembangan zaman
- penulis berharap hasil penelitian ini bermanfaat dan dapat menjadi
pedoman untuk peneliti berikutnya
http://yundikirtayasa.blogspot.co.id/2014/11/makalah-kebudayaan-suku-mandailing.html